Selasa, 31 Juli 2012

Ramadhan Bersama Syariah "Sucikan Hati Jalin Silaturahmi, Menuju Generasi Islami dan Ekonomi Robbani"

            Himpunan Mahasiswa Jurusan Syariah STAIN Pekalongan bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Program Studi Ahwalus Syakhsiyyah, Ekonomi Syariah, dan Perbankan Syariah bekerja sama dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan 1433 H. Pada Agenda tahun ini akan menyelenggarakan beberapa kegiatan, diantaranya Pesantren Kilat, BAKSO URAT (Bakti Sosial Untuk Rakyat), Buka Bersama, serta Peringatan Nuzulul Qur'an. 
  Pesantren Kilat akan diselenggarankan di SMK Syafi'i Akrom dan MAN 3 Pekalongan. Di SMK Syafi'i Akrom, Pesantren Kilat akan dilaksanakan mulai tanggal 6 Agustus 2012 sampai 8 Agustus 2012. Adapun pelaksanaan Pesantren Kilat di MAN 3 Pekalongan akan dilaksanakan selama 2 hari yaitu tanggal 9 dan 10 Agustus 2012. Selama kegiatan Pesantren Kilat berlangsung ada beberapa materi yang akan disampaikan oleh para Pengajar diantaranya, Fiqh Ibadah, Fiqh Muamalah, Sejarah Pemikir Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Lembaga Keuangan Syariah, dan akan juga disampaikan sedikit AMT agar para generasi penerus bangsa ini tambah bersemangat didalam menuntut ilmu. Kegiatan Pesantren kilat ini melibatkan banyak sekali pengajar, yang mereka ini terdiri dari para Mahasiswa Syariah baik Ahwalus Syakhsiyyah, Ekonomi Syariah, maupun Perbankan Syariah. materi Pesantren Kilat diatas bisa didownload  disini. Harapannya kegiatan ini akan menjadi bekal bagi para pengajar didalam memperluas kompetensinya dalam mengamalkan ilmu. 
            Kegiatan tidak hanya selesai pada pelaksanaan pesantren kilat saja, namun kegiatan berlanjut dengan Bakti Sosial Untuk Rakyat pada Tanggal 11 Agustus 2012. Kegiatan Bakso Urat ini akan membagi-bagikan 100 paket sembako secara cuma-cuma kepada para masyarakat yang kurang mampu di perumahan sub inti kelurahan Panjang Kota Pekalongan. 
           Disore harinya seluruh rangkaian kegiatan akan diakhiri dengan Peringatan Nuzulul Qur'an serta Buka Bersama dengan Pembicara Bapak KH.Akrom Sofwan dari Pekalongan. Semoga seluruh rangkaian kegiatan ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang terlibat didalamnya, bantuan dari manapun akan kami terima dan nanti-nantikan guna terselenggaranya dan suksesnya rangkaiaan kegiatan diatas.

Ramadhan Bersama Syariah "Sucikan Hati Jalin Silaturahmi, Menuju Generasi Islami dan Ekonomi Robbani"

Senin, 23 Juli 2012

Welcome to the New Sharia Programs Generation of STAIN Pekalongan


Assalamu’alaikum Wr.Wb.
MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa ialah pelajar perguruan tinggi. Di dalam struktur pendidikan Indonesia, mahasiswa menduduki jenjang satuan pendidikan tertinggi di antara yang lain. 
Mahasiswa itu berbeda dengan siswa. Mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih besar sebab berjuang bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Hal ini didasari oleh suatu patokan dalam perguruan tinggi yang disebut sebagai “Tridharma Perguruan Tinggi” yang terdiri atas pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Poin ketiga itulah yang menjadi pembeda antara mahasiswa dengan siswa. Ada banyak bentuk dari pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan oleh mahasiswa, salah satunya ialah pergerakan mahasiswa. 
Ada empat fungsi mahasiswa yakni agent of change, direct of change, iron stock, dan moral force. Itulah mengapa mahasiswa sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap perubahan negeri ini selain tanggung jawab mereka terhadap akademik mereka. 
Pergerakan mahasiswa dibagi atas dua gerakan yakni gerakan horizontal dan gerakan vertikal. Yang dimaksud gerakan horizontal ialah gerakan basis ke masyarakat. Gerakan ini dapat berupa pengembangan masyarakat (community development), bakti sosial, dan sebagainya. Sedangkan, yang dimaksud gerakan vertikal ialah bergerak langsung ke pemerintah, contohnya ialah aksi turun ke jalan. 
Untuk mewujudkan semua hal tersebut, seorang Mahasiswa tidak cukup hanya dengan bangku perkuliahan saja, namun lebih dari itu mereka memerlukan sebuah wadah guna mengembangkan potensi-potensi lain serta menumbuhkan rasa tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Jurusan Syariah (HMJ Syariah) adalah wadah bagi mahasiswa Syariah STAIN Pekalongan didalam menggapai hal diatas. HMJ Syariah adalah lembaga kemahasiswaan tertinggi ditingkat Jurusan Syariah. Lembaga ini secara struktural membawahi tiga Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) yaitu Akhwalussyakhsiyyah, Ekonomi Syariah dan Perbankan Syariah.
Pada Tahun 2012 ini, HMJ Syariah diketuai oleh Agung Bisyara (Akhwalussyakhsiyyah 09) dan wakilnya Faizin Hamzah (Perbankan Syariah 10). Dengan dua orang sekretaris yaitu Rifka fatin Khamamah (AS 09), Ifatil Karimah (Ekosy 10) dan dua orang bendahara yaitu Rizki Rahmawati (Ekos 10) dan Aprilia Insani (PBS 10).
HMJ Syariah memiliki empat bidang yang merupakan penjabaran dari Visi Misi nya. Empat bidang ini adalah Bidang Kajian Akademik yang diketuai oleh Efrida Eriyana Sari (Ekosy 10), Bidang Penelitian & Pengembangan yang diketuai oleh Imam Hanafi (PBS 10), Bidang Advokasi yang diketuai oleh Nurul Maisyal (AS 09) dan bidang Sosial & Pengabdian Masyarakat yang diketuai oleh Syafi’I (Ekosy 09).
Bertekad menjadi HMJ Syariah yang semakin dirasakan dan semakin bisa mengayomi Mahasiswa Syariah, maka HMJ Syariah STAIN Pekalongan mempunyai Visi dan Misi :
Visi : 
“Menjadikan Mahasiswa Syariah Yang berkompeten baik secara akademik maupun non akademik dg berlandaskan nilai-nilai keislaman dan semangat kebersamaan”
Misi :
-    Menjadikan HMJ Syariah sebagai HMJ yang prestatif dan kontributif baik secara internal maupun eksternal
-    Menjadikan HMJ Syariah sebagai Stimulan yang inovatif dan professional menuju kampus rahmatan lil alamin
-    Memepererat solidaritas Mahasiswa Syariah.
Akhir kata, mahasiswa sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang besar baik untuk diri sendiri maupun negeri ini. Tridarma Perguruan Tinggi merupakan landasan guna menyadari kewajibannya sebagai mahasiswa. 
Negeri ini butuh perubahan. Mahasiswa sebagai kaum intelektual merupakan satu-satunya pihak yang masih dipercaya rakyat guna menyampaikan aspirasi mereka kepada para penguasa. Maka buka mata, buka telinga, tingkatkan kepedulian, lalu bergeraklah! Pergerakan mahasiswa tidak boleh mati agar kedzaliman tidak menjadi-jadi!
Selamat datang dan selamat bergabung Mahasiswa baru Jurusan Syariah STAIN Pekalongan, Semoga Allah senantiasa meridloi usaha kita dalam perjuangan ini. Perjuangan baru dimulai, kawan! Teruslah berjuang, biarkan kelelahan itu mengejarmu hingga lelah dan biarkan kepenatan itu penat menghalangi langkahmu. Hanya ada tiga kata untuk sebuah perubahan: Bangkit, Gugat, dan Lawan!!! Dan JANGAN LELAH BERKARYA, HINGGA KAKI MENGINJAK SORGA!!
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamitthoriq
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Rabu, 18 Juli 2012

Ilmu Falak : Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Islam


Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, M.A


Ilmu falak (astronomi) terhitung sebagai cabang ilmu eksak tertua yang banyak mendapat perhatian manusia sepanjang sejarah. Kegiatan ilmu falak sudah berkembang sejak jauh sebelum Islam datang. Pengetahuan manusia terhadap ilmu falak pada awalnya hanya sebatas pengamatan alami yang bersifat praktis-pragmatis yaitu mengamati terbit dan tenggelam benda-benda langit untuk kepentingan perjalanan, perdagangan, pertanian, menetapkan ritual-ritual agama & sosial, dan lainnya. Aktifitas praktis-pragmatis ini tak jarang juga dikaitkan dengan menelaah situasi alam dalam perspektif yang berbeda yaitu menghubungkannya dengan hal-hal yang bersifat abstrak-pragmatis seperti untuk meramal karakter & nasib seseorang atau sekelompok orang di masa depan yang dikenal dengan nujum atau astrologi.  
Ilmu falak seperti dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat penentangan dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan dalam penentuan waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat tempat terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan hingga era modern.
Di zaman tengah, selain disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga ilmu observasi (ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak. Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan penentuan waktu (khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Secara umum, ilmu falak dibagi menjadi dua, yaitu (1) ilmu falak teoritis (falak 'ilmiy nazhary, theoritical astronomy) dan (2) ilmu falak praktis atau terapan (falak tathbiqi 'amaly, practical astronomy). Dalam penggunaaan sehari-hari ilmu falak praktis-terapan ('amaly) inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu falak, dan di Indonesia dikenal dengan ilmu hisab, yaitu hisab (perhitungan) yang berkaitan dengan penentuan dan pelaksanaan ibadah.

Sejarah & Perkembangan Ilmu Falak dalam Islam Islam
Sejak silam, kajian ilmu falak banyak mendapat perhatian dari para peneliti dan sejarawan. Regis Morlan (seorang orientalis Prancis, peneliti sejarah ilmu falak klasik) mengemukakan beberapa faktor: (1) banyaknya ulama yang berkecimpung di bidang ini sepanjang sejarah, (2) banyaknya karya-karya yang dihasilkan, (3) banyaknya observatorium astronomi yang berdiri sebagai akses dari banyaknya astronom serta karya-karya mereka, (4) banyaknya data observasi (pengamatan alami) yang terdokumentasikan. Sementara itu Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman (guru besar ilmu falak di Institut Nasional Penelitian Astronomi dan Geofisika, Helwan - Mesir) mengatakan “astronomi adalah miniatur terhadap majunya peradaban sebuah bangsa”.
Dalam perjalanan mulanya, peradaban India, Persia dan Yunani adalah peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari tiga peradaban inilah secara khusus muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban lainnya. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab). Buku astronomi ‘Sindhind’ punya pengaruh besar dalam perkembangan astronomi Arab (Islam), dengan puncaknya pada dinasti Abbasiah masa pemerintahan Al-Manshur, buku ini diringkas dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ibrahim al-Fazzârî adalah orang yang mendapat amanah untuk mengerjakan proyek ini, sekaligus juga ia melahirkan buku penjelas yang berjudul “as-Sind Hind al-Kabîr”.
Peradaban Persia memberi pengaruh signifikan dalam peradaban ilmu falak Islam, ditemukan cukup banyak istilah-istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku astronomi berbahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab (Islam) adalah 'Zij Syah' atau ‘Zij Syahryaran’ yang merupakan ephemiris (zij) yang masyhur di zamannya.
Sementara dari peradaban Yunani puncaknya dimotori oleh Cladius Ptolemaus (w. ± 160 M) yang dikenal dengan sistem "geosentris"nya. Gagasan astronomi Ptolemaus terekam dalam maha karyanya yang berjudul ‘Almagest’ atau ‘Tata Agung’ yang menjadi buku pedoman astronomi hingga berabad-abad sebelum runtuh oleh teori tata surya Ibn Syathir (w. 777 H) dan Copernicus.

Peran Ilmu Falak dalam Islam
Dalam penggunaan praktis, ilmu falak merupakan ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan bulan dan matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “Muqaddimah”nya mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang berhamburan. Makna yang hampir sama juga dikemukakan al-Khawarizmi (w. 387 H) dalam ‘Mafatih al-‘Ulmu’nya.
Ilmu falak sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda angkasa selalu dibutuhkan oleh manusia. Dari penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini manusia dapat mengetahui dan memanfaatkan banyak hal. Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap waktu dan zaman. Hal demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati langit, yang merupakan kegiatan utama ilmu falak adalah aktifitas pengamatan benda-benda angkasa alamiah ciptaan Allah Swt yang selalu berubah dan bergerak serta menawarkan berbagai tantangan bagi para pengamatnya. Dahulu, dan hingga kini, langit atau angkasa merupakan obyek wisata yang menarik dan banyak digemari manusia.
Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan falak syar’î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari maupun gerhana bulan).

(1) Penentuan Awal Bulan (Kalender)
Menentukan awal bulan, khususnya menetapkan puasa & hari raya, dalam Islam adalah berdasarkan sistem bulan (qamarî) yaitu peredaran bulan mengelilingi bumi dalam porosnya yang dalam aplikasi bulanannya ditetapkan dengan berganti-ganti antara 30 dan 29 hari. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw; “… as syahru hakadzâ wa hakadzâ wa hakadzâ” (… bulan itu adakalanya begini dan begini (adakalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari) [HR. Muslim]. Khusus dalam menetapkan awal puasa dan hari raya, Rasulullah Saw menyatakan untuk melihat hilal (rukyat). Nabi Saw menegaskan: “shumû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi…” (puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbuka (berhari raya) lah karena melihat hilal) [HR. Muslim]. Dengan berbagai data, fakta dan perdebatan, perintah melihat yang disabdakan baginda Nabi Saw ini berganti dan dapat difahami dengan melihat secara rasional (hisab). Melalui pemahaman yang baik terhadap pergerakan fenomena bulan dan matahari, hadis-hadis tersebut terfahami dan teraplikasikan secara teoritis matematis tanpa perlu rukyat secara faktual (ru’yah bashariyah), namun perdebatan dalam masalah ini senantiasa ramai dibicarakan di Indonesia maupun di negara-negara muslim lainnya.
(2) Menentukan Waktu-Waktu Salat
Penentuan waktu salat dalam Islam ditetapkan berdasarkan fenomena alamiah matahari, seperti terangkum dalam makna ayat “aqimish shalah liduluk as syams…” (dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir…) [QS. Al-Isra’ : 78], serta sabda panjang Nabi Saw terkait teknis pelaksanaan waktu salat fardu yang lima yang dikaitkan dengan fenomena matahari (HR. Muslim) Rumitnya, baik nash al-Qur’an maupun al-Hadits tidak memuat rincian pasti tentang penentuan waktu-waktu tersebut, yang pasti hanyalah “kitâban mawqûta” (waktu yang sudah ditentukan), tidak ada kepastian tata cara yang akan digunakan. Namun demikian ilmu falak mampu menyelesaikan ‘ketidak rincian nash’ tersebut melalui berbagai pengamatan dan penelaahan teks dan konteks fenomena matahari. Dalam kenyataannya, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data hisab penentuan kapan seorang muazin akan mengumandangkan azan atau kapan seorang muslim akan salat tanpa ada perdebatan berarti, meski berbagai persoalan tetap menyelip dalam data hisab waktu-waktu salat, seperti halnya dalam menetapkan awal waktu puasa dan hari raya.

(3) Menentukan Arah Kiblat
Menghadap kiblat adalah satu keharusan (syarat) dalam salat. Salat dinyatakan tidak sah jika tidak menghadap Kakbah, karena menghadapnya adalah kemestian untuk sah dan berkualitasnya salat seorang muslim. Al-Qur’an hanya menyatakan “wa min haytsu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram wa haytsu ma kuntum fa wallu wujuhaum syathrah” (Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya) [QS. Al-Baqarah (02): 150] tanpa ada penjelasan rinci tentang menghadap yang dimaksud. Dimaklumi, bagi penduduk Mekah dan sekitarnya, menghadap dan mengarah Kakbah dapat diusahakan meski secara alamiah dengan serta merta menghadap, dan ini masih dalam koridor ‘zhan’ yang dilegalkan. Berpaling kurang beberapa derajat dari bangunan Kakbah dapat ditolerir karena masih dalam teritorial kota Mekah. Namun bagaimana halnya jika berada jauh dari Kakbah atau kota Mekah, Indonesia misalnya? Serta merta atau asal menghadap tidaklah dibenarkan, meski dilandasi dengan ‘zhan’ namun tetap saja tidak realistis dan logis, karena ‘zhan’ dalam syariat akan selalu bersesuaian dengan realitas empirik (mashlahat-waqi’iyat). Dalam konteks Indonesia, berpaling beberapa derajat dari bangunan Kakbah akan berpaling jauh dari bangunan Kakbah bahkan kota Mekah. Ini tentunya tidak realistis, dan tidak bisa disebut 'zhan'. Untuk mengatasi hal ini, fikih an sich tidak memadai. Nah, ilmu falak berperan memersiskan atau setidak-tidaknya meminimalisir perpalingan arah yang begitu mencolok tersebut. Dan dalam penentuan arah kiblat inipun masyarakat dapat menerima tanpa perdebatan, seoarang mushallî (orang yang akan menunaikan shalat) merasa ithmi’nan (tenang) dengan arah sajadah yang terhampar di mushallâ atau mesjid tanpa ambil pusing tepat atau melesetkah arah sajadah tersebut. Padahal banyak mushallâ dan mesjid yang kadang serampangan menentukan arah kiblat. Ilmu falak lagi-lagi berperan dalam menetapkan arah kiblat ini.

(4) Menentukan terjadinya Gerhana
Gerhana matahari maupun gerhana bulan adalah fenomena alamiah ‘luar biasa’ yang dapat disaksikan dengan mata, meski jarang dan tidak semua orang dapat menyaksikan dan tidak disemua tempat dapat disaksikan. Salat gerhana dalam fikih Islam adalah ibadah anjuran yang sangat dianjurkan (sunnah mu’akadah). Namun, kapan salat itu dilakukan ? fenomena alamiah ini jarang terjadi, pula tidak banyak manusia yang perhatian terhadap fenomena ini, hingga terkadang ia dilupakan atau terlupakan. Namun ilmu falak selalu dan senantiasa dapat mengingatkan dan mendeteksi fenomena ini, kapan dan dimana peristiwa alamiah ini akan terjadi. Dengan demikian dari peranan ilmu falak ini seorang muslim dapat menunaikan anjuran yang sangat dianjurkan tersebut dengan yakin dan nyaman.
Dari uraian diatas jelas bahwa peranan ilmu falak sangatlah nyata dan signifikan. Artikel ini hanyalah ‘pengantar’, paling tidak pengantar bahwa ilmu falak itu berguna dan berperan dalam ibadah utama umat Islam. Betapapun lihai dan piawainya seorang muslim memahami teks nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, namun jika tidak memahami konteks (aplikasi) nash tersebut, nash-nash tersebut tetaplah ‘tidak tanggap’. Karena itu “fikih tidak sempurna tanpa peranan ilmu falak”. Wallahu a’lam.
***

* Program S-3 penelitian Filologi Astronomi Islam era klasik di "Institute of Arab Research & Studies" The Arab League ALECSO Cairo - Egypt