Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, M.A
Ilmu
falak (astronomi) terhitung sebagai cabang ilmu eksak tertua yang banyak
mendapat perhatian manusia sepanjang sejarah. Kegiatan ilmu falak sudah
berkembang sejak jauh sebelum Islam datang. Pengetahuan manusia terhadap ilmu
falak pada awalnya hanya sebatas pengamatan alami yang bersifat
praktis-pragmatis yaitu mengamati terbit dan tenggelam benda-benda langit untuk
kepentingan perjalanan, perdagangan, pertanian, menetapkan ritual-ritual agama &
sosial, dan lainnya. Aktifitas praktis-pragmatis ini tak jarang juga dikaitkan
dengan menelaah situasi alam dalam perspektif yang berbeda yaitu
menghubungkannya dengan hal-hal yang bersifat abstrak-pragmatis seperti untuk
meramal karakter & nasib seseorang atau sekelompok orang di masa depan yang
dikenal dengan nujum atau astrologi.
Ilmu falak seperti dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam
yang memiliki posisi istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak
mendapat penentangan dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan
dalam penentuan waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat
tempat terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan
hingga era modern.
Di zaman tengah, selain disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga
ilmu observasi (ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak.
Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan
penentuan waktu (khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Secara umum, ilmu falak dibagi menjadi dua, yaitu (1) ilmu falak teoritis (falak
'ilmiy nazhary, theoritical astronomy) dan (2) ilmu falak praktis atau terapan
(falak tathbiqi 'amaly, practical astronomy). Dalam penggunaaan sehari-hari ilmu
falak praktis-terapan ('amaly) inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu
falak, dan di Indonesia dikenal dengan ilmu hisab, yaitu hisab (perhitungan)
yang berkaitan dengan penentuan dan pelaksanaan ibadah.
Sejarah & Perkembangan Ilmu Falak dalam Islam Islam
Sejak silam, kajian ilmu falak banyak mendapat
perhatian dari para peneliti dan sejarawan. Regis Morlan (seorang orientalis
Prancis, peneliti sejarah ilmu falak klasik) mengemukakan beberapa faktor: (1)
banyaknya ulama yang berkecimpung di bidang ini sepanjang sejarah, (2) banyaknya
karya-karya yang dihasilkan, (3) banyaknya observatorium astronomi yang berdiri
sebagai akses dari banyaknya astronom serta karya-karya mereka, (4) banyaknya
data observasi (pengamatan alami) yang terdokumentasikan. Sementara itu Prof.
Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman (guru besar ilmu falak di Institut Nasional
Penelitian Astronomi dan Geofisika, Helwan - Mesir) mengatakan “astronomi adalah
miniatur terhadap majunya peradaban sebuah bangsa”.
Dalam perjalanan mulanya, peradaban India, Persia dan Yunani adalah peradaban
yang punya kedudukan istimewa. Dari tiga peradaban inilah secara khusus muncul
dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban lainnya.
Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab).
Buku astronomi ‘Sindhind’ punya pengaruh besar dalam perkembangan astronomi Arab
(Islam), dengan puncaknya pada dinasti Abbasiah masa pemerintahan Al-Manshur,
buku ini diringkas dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ibrahim al-Fazzârî
adalah orang yang mendapat amanah untuk mengerjakan proyek ini, sekaligus juga
ia melahirkan buku penjelas yang berjudul “as-Sind Hind al-Kabîr”.
Peradaban Persia memberi pengaruh signifikan dalam peradaban ilmu falak Islam,
ditemukan cukup banyak istilah-istilah falak Persia yang terus dipakai dalam
Islam hingga saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku astronomi
berbahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab (Islam) adalah 'Zij Syah'
atau ‘Zij Syahryaran’ yang merupakan ephemiris (zij) yang masyhur di zamannya.
Sementara dari peradaban Yunani puncaknya dimotori oleh Cladius Ptolemaus (w. ±
160 M) yang dikenal dengan sistem "geosentris"nya. Gagasan astronomi Ptolemaus
terekam dalam maha karyanya yang berjudul ‘Almagest’ atau ‘Tata Agung’ yang
menjadi buku pedoman astronomi hingga berabad-abad sebelum runtuh oleh teori
tata surya Ibn Syathir (w. 777 H) dan Copernicus.
Peran Ilmu Falak dalam Islam
Dalam penggunaan praktis, ilmu falak merupakan ilmu yang mempelajari tata lintas
pergerakan bulan dan matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi
kepentingan manusia. Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “Muqaddimah”nya mendefinisikan
ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang
(planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang
berhamburan. Makna yang hampir sama juga dikemukakan al-Khawarizmi (w. 387 H)
dalam ‘Mafatih al-‘Ulmu’nya.
Ilmu falak sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda angkasa selalu dibutuhkan
oleh manusia. Dari penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini manusia dapat
mengetahui dan memanfaatkan banyak hal. Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam
kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap waktu dan zaman. Hal
demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati langit,
yang merupakan kegiatan utama ilmu falak adalah aktifitas pengamatan benda-benda
angkasa alamiah ciptaan Allah Swt yang selalu berubah dan bergerak serta
menawarkan berbagai tantangan bagi para pengamatnya. Dahulu, dan hingga kini,
langit atau angkasa merupakan obyek wisata yang menarik dan banyak digemari
manusia.
Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan
matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan
dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan
kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan
falak syar’î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan awal-awal
bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah dan bayang
kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari maupun
gerhana bulan).
(1) Penentuan Awal Bulan (Kalender)
Menentukan awal bulan, khususnya menetapkan puasa & hari raya, dalam Islam
adalah berdasarkan sistem bulan (qamarî) yaitu peredaran bulan mengelilingi bumi
dalam porosnya yang dalam aplikasi bulanannya ditetapkan dengan berganti-ganti
antara 30 dan 29 hari. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw; “… as syahru
hakadzâ wa hakadzâ wa hakadzâ” (… bulan itu adakalanya begini dan begini
(adakalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari) [HR. Muslim]. Khusus dalam
menetapkan awal puasa dan hari raya, Rasulullah Saw menyatakan untuk melihat
hilal (rukyat). Nabi Saw menegaskan: “shumû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi…”
(puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbuka (berhari raya) lah karena
melihat hilal) [HR. Muslim]. Dengan berbagai data, fakta dan perdebatan,
perintah melihat yang disabdakan baginda Nabi Saw ini berganti dan dapat
difahami dengan melihat secara rasional (hisab). Melalui pemahaman yang baik
terhadap pergerakan fenomena bulan dan matahari, hadis-hadis tersebut terfahami
dan teraplikasikan secara teoritis matematis tanpa perlu rukyat secara faktual
(ru’yah bashariyah), namun perdebatan dalam masalah ini senantiasa ramai
dibicarakan di Indonesia maupun di negara-negara muslim lainnya.
(2) Menentukan Waktu-Waktu Salat
Penentuan waktu salat dalam Islam ditetapkan berdasarkan fenomena alamiah
matahari, seperti terangkum dalam makna ayat “aqimish shalah liduluk as syams…”
(dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir…) [QS. Al-Isra’ : 78],
serta sabda panjang Nabi Saw terkait teknis pelaksanaan waktu salat fardu yang
lima yang dikaitkan dengan fenomena matahari (HR. Muslim) Rumitnya, baik nash
al-Qur’an maupun al-Hadits tidak memuat rincian pasti tentang penentuan
waktu-waktu tersebut, yang pasti hanyalah “kitâban mawqûta” (waktu yang sudah
ditentukan), tidak ada kepastian tata cara yang akan digunakan. Namun demikian
ilmu falak mampu menyelesaikan ‘ketidak rincian nash’ tersebut melalui berbagai
pengamatan dan penelaahan teks dan konteks fenomena matahari. Dalam
kenyataannya, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data hisab penentuan
kapan seorang muazin akan mengumandangkan azan atau kapan seorang muslim akan
salat tanpa ada perdebatan berarti, meski berbagai persoalan tetap menyelip
dalam data hisab waktu-waktu salat, seperti halnya dalam menetapkan awal waktu
puasa dan hari raya.
(3) Menentukan Arah Kiblat
Menghadap kiblat adalah satu keharusan (syarat) dalam salat. Salat dinyatakan
tidak sah jika tidak menghadap Kakbah, karena menghadapnya adalah kemestian
untuk sah dan berkualitasnya salat seorang muslim. Al-Qur’an hanya menyatakan
“wa min haytsu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram wa haytsu ma
kuntum fa wallu wujuhaum syathrah” (Dan dari mana saja kamu berangkat, maka
palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka
palingkanlah wajahmu kearahnya) [QS. Al-Baqarah (02): 150] tanpa ada penjelasan
rinci tentang menghadap yang dimaksud. Dimaklumi, bagi penduduk Mekah dan
sekitarnya, menghadap dan mengarah Kakbah dapat diusahakan meski secara alamiah
dengan serta merta menghadap, dan ini masih dalam koridor ‘zhan’ yang
dilegalkan. Berpaling kurang beberapa derajat dari bangunan Kakbah dapat
ditolerir karena masih dalam teritorial kota Mekah. Namun bagaimana halnya jika
berada jauh dari Kakbah atau kota Mekah, Indonesia misalnya? Serta merta atau
asal menghadap tidaklah dibenarkan, meski dilandasi dengan ‘zhan’ namun tetap
saja tidak realistis dan logis, karena ‘zhan’ dalam syariat akan selalu
bersesuaian dengan realitas empirik (mashlahat-waqi’iyat). Dalam konteks
Indonesia, berpaling beberapa derajat dari bangunan Kakbah akan berpaling jauh
dari bangunan Kakbah bahkan kota Mekah. Ini tentunya tidak realistis, dan tidak
bisa disebut 'zhan'. Untuk mengatasi hal ini, fikih an sich tidak memadai. Nah,
ilmu falak berperan memersiskan atau setidak-tidaknya meminimalisir perpalingan
arah yang begitu mencolok tersebut. Dan dalam penentuan arah kiblat inipun
masyarakat dapat menerima tanpa perdebatan, seoarang mushallî (orang yang akan
menunaikan shalat) merasa ithmi’nan (tenang) dengan arah sajadah yang terhampar
di mushallâ atau mesjid tanpa ambil pusing tepat atau melesetkah arah sajadah
tersebut. Padahal banyak mushallâ dan mesjid yang kadang serampangan menentukan
arah kiblat. Ilmu falak lagi-lagi berperan dalam menetapkan arah kiblat ini.
(4) Menentukan terjadinya Gerhana
Gerhana matahari maupun gerhana bulan adalah fenomena alamiah ‘luar biasa’ yang
dapat disaksikan dengan mata, meski jarang dan tidak semua orang dapat
menyaksikan dan tidak disemua tempat dapat disaksikan. Salat gerhana dalam fikih
Islam adalah ibadah anjuran yang sangat dianjurkan (sunnah mu’akadah). Namun,
kapan salat itu dilakukan ? fenomena alamiah ini jarang terjadi, pula tidak
banyak manusia yang perhatian terhadap fenomena ini, hingga terkadang ia
dilupakan atau terlupakan. Namun ilmu falak selalu dan senantiasa dapat
mengingatkan dan mendeteksi fenomena ini, kapan dan dimana peristiwa alamiah ini
akan terjadi. Dengan demikian dari peranan ilmu falak ini seorang muslim dapat
menunaikan anjuran yang sangat dianjurkan tersebut dengan yakin dan nyaman.
Dari uraian diatas jelas bahwa peranan ilmu falak sangatlah nyata dan
signifikan. Artikel ini hanyalah ‘pengantar’, paling tidak pengantar bahwa ilmu
falak itu berguna dan berperan dalam ibadah utama umat Islam. Betapapun lihai
dan piawainya seorang muslim memahami teks nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah,
namun jika tidak memahami konteks (aplikasi) nash tersebut, nash-nash tersebut
tetaplah ‘tidak tanggap’. Karena itu “fikih tidak sempurna tanpa peranan ilmu
falak”. Wallahu a’lam.
***
* Program S-3 penelitian Filologi Astronomi Islam era klasik di "Institute of
Arab Research & Studies" The Arab League ALECSO Cairo - Egypt