Sabtu, 11 Juni 2016

MATERI TAUHID UNTUK SMP 13

MATERI TAUHID
UNTUK SMP 13
Standar Kompetensi
1.      Memahami konsep iman dan kewajibannya 
2.      Memahami konsep tauhid
Kompetensi dasar
a.       Menjelaskan aturan islam tentang iman dan tauhid
b.      Memahami kewajiban manusia
c.       Menerapkan iman dan ilmu tauhid
Indikator
1.      Iman
Siswa mampu :
a.       Menjelaskan pengertian iman
b.      Menjelaskan kewajiban sebagai manusia beriman
2.      Tauhid
Siswa mampu :
a.       Menjelaskan pengertian tauhid
b.      Menjelaskan penerapan tgauhid dalam kehidupan sehari-hari

















Empat Kewajiban Setiap Insan
Diantara ayat yang menunjukkan kepada kita bentuk-bentuk ibadah pokok yang menjadi kunci kebaikan, keberuntungan, dan kebahagiaan adalah surat al-'Ashr. Allah ta'ala
berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran
dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3)
Imam asy-Syafi'i rahimahullah sampai-sampai mengatakan, “Seandainya umat manusia mau memikirkan kandungan surat ini niscaya hal itu cukup -sebagai pelajaran- bagi mereka.” Hal itu dikarenakan, di dalam surat ini Allah memberikan empat hal yang menjadi kunci kebaikan seorang hamba, yaitu:
1. Iman
2. Amal salih
3. Saling menasihati dalam kebenaran
4. Saling menasihati dalam kesabaran
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya 'Tsalatsah al-Ushul' [tiga pondasi agama] menyimpulkan bahwa berdasarkan surat ini setiap kita wajib untuk
mempelajari empat perkara dan mengamalkannya, yaitu:
1. Ilmu
2. Amal
3. Dakwah
4. Sabar
Ya, kalau kita lihat sekilas sepertinya kedua keterangan di atas berbeda. Di atas disebutkan bahwa empat hal yang menjadi kunci kebaikan itu adalah iman, amal salih, menasihati dalam kebenaran, dan menasihati dalam kesabaran. Sementara di bawahnya disebutkan bahwa kewajiban kita adalah ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Apakah bertentangan?
Pengertian Iman
Baiklah, untuk memahami masalah ini, kita perlu untuk mengenal apa sebenarnya hakikat atau pengertian iman itu sendiri. Para ulama kita menerangkan, bahwa iman adalah
pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan makna iman secara khusus di
dalam hadits Jibril yang sangat terkenal, yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan malaikat Jibril dalam rupa manusia lalu menanyakan tentang islam, iman, dan ihsan. Di dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman adalah 'kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang buruk' (HR. Muslim dari 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu) Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, "Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan." (lihat Qathfu al- Jana ad-Dani, hal. 47)
 [1] Menuntut Ilmu
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat ilmu itu adalah mengetahui petunjuk dengan dalilnya. Apabila disebutkan kata 'ilmu' -dalam pembicaraan para ulama atau dalil agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar'i/ilmu agama (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)
Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya
mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya
adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya
adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat
sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab
makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “... Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada
binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.”
[2] Beramal Salih
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Amat besar kemurkaan Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)  
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan amal adalah jalan para nabi. Inilah hakikat jalan yang lurus/shirothol mustaqim. Apabila
ditinjau dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Orang yang berilmu namun tidak beramal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai
seperti halnya orang-orang Yahudi dan yang seperti mereka
2. Orang yang beramal namun tanpa ilmu, sehingga menjerumuskan mereka dalam berbagai kebid'ahan. Mereka itulah orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin] seperti halnya orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara kita maka dia menyerupai kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka dia menyerupai kaum Nasrani.”
3. Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, inilah jalan para nabi dan pengikut mereka. Inilah hakikat shirothol mustaqim yang kita minta setiap hari sampai berulang kali. Inilah jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang
dia perbaiki.”
 [3] Ikut Serta Dalam Dakwah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kesempurnaan pribadi seseorang akan bisa terwujud dengan menyempurnakan dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan amalan. Menyempurnakan kekuatan ilmu adalah dengan keimanan, sedangkan
menyempurnakan kekuatan amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya,
dengan ilmu, iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian
kesempurnaan individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan secara sosial, yaitu
dengan mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya, dan menasihati dalam hal kesabaran
untuk berilmu dan beramal (Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku; aku berdakwah/mengajak [kalian] kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku...” (QS. Yusuf: 108).
Apabila seorang insan telah berusaha menyempurnakan kekuatan ilmu dan amal dalam dirinya, maka sudah semestinya dia berusaha berpartisipasi untuk mencurahkan kebaikan kepada orang lain dalam rangka meneladani para utusan Allah. Berdakwah ila Allah adalah perkara yang sangat agung dan membuahkan pahala yang sangat melimpah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, apabila melalui perantaramu Allah
memberikan petunjuk kepada satu orang saja itu jauh lebih baik bagimu daripada onta-onta
merah.” (HR. Muslim)
[4] Menghiasi Diri Dengan Kesabaran
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu pernah berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.”
Dari Shuhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “... sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya.... Imannya tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur...”
Merealisasikan Tauhid
Konsekuensi Kalimat Tauhid
Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab,
“Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi
dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.”
Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu
beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam.
Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan yang bisa
memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat wajib, zakat
yang telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu'anhu)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas
dipersembahkan kecuali kepada Allah 'azza wa jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan
makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia merupakan kekhususan ilahiyahmaka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan

Merealisasikan Tauhid
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid'ah, dan terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah merealisasikan tauhidnya...” (lihat Qurrat 'Uyun al-Muwahhidin, hal. 23). Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Barangsiapa yang merealisasikan tauhid berarti dia telah mengagungkan-Nya. Dan barangsiapa yang menyianyiakan tauhid sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak Allah, meskipun sujud telah membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan bekas di kulit yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya...”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tauhid tidak akan terealisasi pada diri seseorang kecuali dengan tiga perkara:
- Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
- Kedua, i'tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan tauhid. Allah ta'ala berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), “Apakah dia
-Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-.
- Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?” (QS. ash- Shaffat: 35-36)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid'ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa
perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara
menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan,
kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta
membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan
diri dari bid'ah-bid'ah.”
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa merealisasikan laa ilaha illallah (baca: tauhid) adalah sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata,
“Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan”. Sebagian salaf juga mengatakan,
”Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat
daripada ikhlas”. Tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun
selain mukmin, tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.
Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, “Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat”. Beliau menjawab, ”Apa yang perlu dilakukan oleh
setan terhadap hati yang sudah hancur?”. Setan tidak perlu repot-repot meruntuhkan hati
yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur.
Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa
terkadang seseorang mendapati di dalam hatinya sesuatu yang besar dan tidak sanggup untuk diucapkan. Beliau berkata, ”Benarkah kalian merasakan hal itu?”. Mereka menjawab, “Benar”. Beliau berkata, ”Itulah kejelasan iman.” (HR. Muslim). Artinya itu adalah bukti
keimanan kalian. Karena hal itu tidak bisa dirasakan kecuali oleh hati yang lurus dan bersih


Tidak ada komentar:

Posting Komentar