MATERI TAUHID
UNTUK SMP 13
Standar Kompetensi
1. Memahami konsep iman
dan kewajibannya
2. Memahami konsep tauhid
Kompetensi dasar
a. Menjelaskan aturan islam
tentang iman dan tauhid
b.
Memahami kewajiban manusia
c. Menerapkan iman dan ilmu tauhid
Indikator
1.
Iman
Siswa mampu :
a.
Menjelaskan
pengertian iman
b.
Menjelaskan kewajiban sebagai manusia beriman
2.
Tauhid
Siswa mampu :
a.
Menjelaskan
pengertian tauhid
b.
Menjelaskan penerapan tgauhid dalam kehidupan sehari-hari
Empat
Kewajiban Setiap Insan
Diantara ayat yang menunjukkan kepada
kita bentuk-bentuk ibadah pokok yang menjadi kunci kebaikan, keberuntungan, dan
kebahagiaan adalah surat al-'Ashr. Allah ta'ala
berfirman
(yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam
kerugian,
kecuali orang-orang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran
dan
saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3)
Imam asy-Syafi'i rahimahullah sampai-sampai
mengatakan, “Seandainya umat manusia mau memikirkan kandungan surat ini niscaya
hal itu cukup -sebagai pelajaran- bagi mereka.” Hal itu dikarenakan, di dalam
surat ini Allah memberikan empat hal yang menjadi kunci kebaikan seorang hamba,
yaitu:
1.
Iman
2.
Amal salih
3.
Saling menasihati dalam kebenaran
4.
Saling menasihati dalam kesabaran
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah
di dalam risalahnya 'Tsalatsah al-Ushul' [tiga pondasi agama] menyimpulkan
bahwa berdasarkan surat ini setiap kita wajib untuk
mempelajari
empat perkara dan mengamalkannya, yaitu:
1.
Ilmu
2.
Amal
3.
Dakwah
4.
Sabar
Ya, kalau kita lihat sekilas sepertinya
kedua keterangan di atas berbeda. Di atas disebutkan bahwa empat hal yang
menjadi kunci kebaikan itu adalah iman, amal salih, menasihati dalam kebenaran,
dan menasihati dalam kesabaran. Sementara di bawahnya disebutkan bahwa kewajiban
kita adalah ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Apakah bertentangan?
Pengertian
Iman
Baiklah, untuk memahami masalah ini,
kita perlu untuk mengenal apa sebenarnya hakikat atau pengertian iman itu
sendiri. Para ulama kita menerangkan, bahwa iman adalah
pembenaran
di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan makna iman secara
khusus di
dalam
hadits Jibril yang sangat terkenal, yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan malaikat
Jibril dalam rupa manusia lalu menanyakan tentang islam, iman, dan ihsan. Di dalam
hadits tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa iman adalah 'kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang
buruk' (HR. Muslim dari 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu) Imam
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, "Iman adalah
ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia
bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan.
Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab
pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan
amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat
-yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali
apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan." (lihat Qathfu al- Jana
ad-Dani, hal. 47)
[1] Menuntut Ilmu
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah
menjelaskan, bahwa hakikat ilmu itu adalah mengetahui petunjuk dengan
dalilnya. Apabila disebutkan kata 'ilmu' -dalam pembicaraan para ulama atau
dalil agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar'i/ilmu agama (lihat Hasyiyah
Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)
Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu mengatakan,
“Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya
mempelajari
ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya
adalah
ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya
adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya
adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya
adalah
qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di
saat
sendirian
dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin,
hal. 15)
Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan
ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab
makanan
dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan
sepanjang waktu.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“... Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas
kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa
bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan
hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas
darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan
dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada
binatang
melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah
daripada dirinya ketika itu.”
[2]
Beramal Salih
Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa
yang tidak kalian kerjakan. Amat besar kemurkaan Allah karena kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah
menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan amal adalah jalan para nabi.
Inilah hakikat jalan yang lurus/shirothol mustaqim. Apabila
ditinjau
dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
1.
Orang yang berilmu namun tidak beramal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai
seperti
halnya orang-orang Yahudi dan yang seperti mereka
2.
Orang yang beramal namun tanpa ilmu, sehingga menjerumuskan mereka dalam berbagai
kebid'ahan. Mereka itulah orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin] seperti halnya
orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu para ulama
kita mengatakan, “Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara kita
maka dia menyerupai kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah
kita maka dia menyerupai kaum Nasrani.”
3.
Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, inilah jalan para nabi dan pengikut
mereka. Inilah hakikat shirothol mustaqim yang kita minta setiap hari sampai berulang
kali. Inilah jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima.
Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima
sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan
benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata,
“Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia
rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang
dia
perbaiki.”
[3] Ikut Serta Dalam Dakwah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
bahwa kesempurnaan pribadi seseorang akan bisa terwujud dengan menyempurnakan
dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan amalan. Menyempurnakan kekuatan ilmu
adalah dengan keimanan, sedangkan
menyempurnakan
kekuatan amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya,
dengan
ilmu, iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian
kesempurnaan
individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan secara sosial, yaitu
dengan
mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya, dan menasihati dalam hal kesabaran
untuk
berilmu dan beramal (Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah:
Inilah jalanku; aku berdakwah/mengajak [kalian] kepada Allah di atas
bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku...” (QS.
Yusuf: 108).
Apabila seorang insan telah berusaha
menyempurnakan kekuatan ilmu dan amal dalam dirinya, maka sudah semestinya dia
berusaha berpartisipasi untuk mencurahkan kebaikan kepada orang lain dalam
rangka meneladani para utusan Allah. Berdakwah ila Allah adalah perkara yang
sangat agung dan membuahkan pahala yang sangat melimpah. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, apabila melalui perantaramu Allah
memberikan
petunjuk kepada satu orang saja itu jauh lebih baik bagimu daripada onta-onta
merah.”
(HR. Muslim)
[4]
Menghiasi Diri Dengan Kesabaran
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu pernah
berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada
iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.”
Dari Shuhaib radhiyallahu'anhu,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan
urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan
hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan
dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan
dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“... sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah
sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat
bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya.... Imannya tidak
akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun
pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang
mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia
belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur...”
Merealisasikan
Tauhid
Konsekuensi
Kalimat Tauhid
Ada yang berkata kepada al-Hasan,
“Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia
pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab,
“Barangsiapa
yang mengucapkan laa ilaha illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi
dan
kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.”
Orang yang mengucapkan laa ilaha
illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu
beribadah
kepada Allah, tidak berbuat syirik dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam.
Suatu
ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan
yang bisa
memasukkan
ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan
tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat wajib, zakat
yang
telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah
radhiyallahu'anhu)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung
konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah
adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan
takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan
takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas
dipersembahkan
kecuali kepada Allah 'azza wa jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan
makhluk
dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia merupakan kekhususan
ilahiyahmaka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam
dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar
ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang
kemusyrikan
Merealisasikan
Tauhid
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan
membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid'ah, dan terus
menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia
telah merealisasikan tauhidnya...” (lihat Qurrat 'Uyun al-Muwahhidin,
hal. 23). Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata,
“Barangsiapa yang merealisasikan tauhid berarti dia telah mengagungkan-Nya. Dan
barangsiapa yang menyianyiakan tauhid sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak
Allah, meskipun sujud telah membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan
bekas di kulit yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya...”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah
menjelaskan bahwa tauhid tidak akan terealisasi pada diri seseorang kecuali
dengan tiga perkara:
-
Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa tiada
sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
-
Kedua, i'tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak
meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum
merealisasikan tauhid. Allah ta'ala berfirman mengenai orang-orang kafir
(yang artinya), “Apakah dia
-Muhammad-
hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu
sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.” (QS.
Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan
-meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-.
-
Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini
namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta'ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan
kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun
menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus
meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?”
(QS. ash- Shaffat: 35-36)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan
memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid'ahan yang
berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa
perbuatan/amalan
dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara
menyempurnakan
keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan,
kemudian
membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta
membersihkan
diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan
diri
dari bid'ah-bid'ah.”
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah memaparkan
bahwa merealisasikan laa ilaha illallah (baca: tauhid) adalah sesuatu yang
sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata,
“Setiap
maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan”. Sebagian salaf juga mengatakan,
”Tidaklah
aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat
daripada
ikhlas”. Tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun
selain
mukmin, tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan.
Pernah
ditanyakan kepada Ibnu Abbas, “Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah
diserang waswas dalam sholat”. Beliau menjawab, ”Apa yang perlu dilakukan oleh
setan
terhadap hati yang sudah hancur?”. Setan tidak perlu repot-repot meruntuhkan
hati
yang
sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur.
Oleh
sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa
terkadang
seseorang mendapati di dalam hatinya sesuatu yang besar dan tidak sanggup untuk
diucapkan. Beliau berkata, ”Benarkah kalian merasakan hal itu?”. Mereka
menjawab, “Benar”. Beliau berkata, ”Itulah kejelasan iman.” (HR. Muslim).
Artinya itu adalah bukti
keimanan
kalian. Karena hal itu tidak bisa dirasakan kecuali oleh hati yang lurus dan
bersih